Monday, October 28, 2013

Flash Back

Gorontalo, October 25, 2013, 10:18PM

> SD dulu itu jalan kaki dr rumah ke sekolah atau kadang diantar bapak kl lagi manja. Uang saku Rp100-500, jaman itu bisa beli permen 8 biji atau semangkuk sup ubi, jaman mau lulus ada mie sakura (suka memakannya tanpa diseduh). Jaman ini sy tdk bnyak teman, kl diingat2 sy dulu lebih senang sendiri, berdiam d dpn kelas. Bukan anak yg ceria pokoknya.

> Masuk SMP rasanya senang sekali, bertemu bnyak teman baru dan yg pasti masuk di sekolah tempat ibuku dl mengajar. Bisa dibilang sy dibesarkan di sekolah ini -selain di sel samping ruang kerja bapak, tempatku sering tidur wktu kecil kl lelah bermain dg anak polisi lainnya-. Oia, ibuku seorang guru dan ayahku polisi pangkat kecil krn dia tak mau sekolah, tak mau menjilat atasan demi posisi pokoknya sy bangga jd anak polisi sprti bapak. Sejak mulai dinas bapak tdk pernah pindah kantor, alasannya tdk mau sekolah krn tdk mau meninggalkan ibunya. Sampai pensiun bertugas d kntor yg sama. Lucu sekali bukan, mengingat anak perempuannya -satu2nya- malah pergi jauh meninggalkan ibunya. Tamat SMP sy daftar SMU Taruna -jaman masih kelaki-lakian- untungnya tdk lulus, bisa dibayangkan bgmn jika sy lulus smu taruna lanjut akpol bisa jd sy bagian dari mereka yg saat ini mulai pudar penghargaan masyarakat akan hadirnya.

> Masih terobsesi pengen sekolah di SMU tempat kedua kk ku sekolah -dr SD smp SMU oleh guru selalu dibandingkan dg kk sendiri yg beda 6 tingkat- tp sy merasa tertantang, meski nyatanya tdk pernah bisa mengalahkan otak encernya. hehehehe Ada bnyak cerita di SMU ini, sy lalu berubah dr penggila pelajaran matematika menjadi penikmat sastra. Senang sekali dg Khalil Gibran, sajaknya menghuggah hatiku. Sampe disini sy masih kurang bs akrab dg org. Sahabatku terbatas dr SD, SMP dan SMU hampir semua masih teman yg sama -sampai sekarang juga masih dg sahabat yg sama hanya saja kami kini terpisah diantara ruang dan waktu-.

> Kuliah S1, sebenarnya pengen masuk sastra Jepang. Jaman itu terobsesi krn suka nnton film Jepang. Tp nasib berkata lain, guru Kimiaku memilihkan Farmasi dan sy lulus. Ternyata kuliah farmasi membuat ibuku banting tulang, emasnya habis. Pinjam sana-i saat sy mendadak minta uang, kuliah farmasi butuh banyak uang tak terduga -beli buku, alat lab, sampel, pelarut, pkl, buku referensi, lks dll- pegawai kecil sprti ibu bapakku uangnya tdk seberapa. Makin dekat tugas akhir makin banyak butuh uang. Semester 5 mulai part time bantuin dosen di apoteknya. Gaji awalku Rp.150rb/bln jaman itu lumayan meringankan beban ibuku (kangen bu Latifah, semoga Allah selalu merahmatinya dg kebahagian dan memudah rezekinya). Akhirnya selesai S1 dg perjuangan berat ibuku. Ayahku bahkan pernah berkata: gajiku tdk seberapa dibanding ibumu nak, jika cuman andalkan gaji bapak pasti kamu sdh lama tdk sekolah nak. Dua kk lainnya juga kuliah,  alhamdulillah ibu memperjuangkan pendidikan kami. Katanya, ibu tak punya tanah luas atau harta melimpah yg bs diwariskan. Ibu hanya bs berusaha menyekolahkan kalian semua sampai selesai, hanya itu warisan ibu buat kalian. Sy masih kerja di apotek sampai satu semester sebelum selesai kuliah profesi. Berhenti karena lulus kerja di bank -ajaib kan anak farmasi lulus di BSM mgkn tmn2 disna sdh lupa pernah ada sy 3 bulan kerja dg mereka-. Sy sakit, ritme kerjanya tdk cocok dg maag akutku -penyakitku krn mood makan yg tdk stabil dr kecil-. Mgkin juga warning agar segera menyelesaikan kuliah profesi, sayang kl ditinggal krn satu semester lg selesai.

> Setahun sebelum lulus di tempat kerja skr sy juga lulus tes tulis di instansi yg sama, tp dg ijazah S1 krn kul profesinya blum kelar. Sy memilih kerja di bank, tdk ikut tes wawancara krn ibu tdk setuju sy pergi jauh, jaman itu pilihannya Batam dan Bandung. Mgkin mmg jodoh dg instansi ini, setahun kemudian lulus dg ijazah profesi dan ditempatkan di Gorontalo. Ujung2nya mmg mesti merantau -Allah mengabulkan satu permintaan sy waktu kecil setiap sy marah dg ibu, sy pengen pergi jauh d tempat yg tak seorangpun mengenalku, Allah menjawab itu bertahun2 kemudian- pelajaran yg kudapat adl jangan pernah membenci ibumu seberapapun beda pola pikirmu. Dg berada jauh Allah mengajarku untuk menyadari kesalahan pola pikir ini.

> Sekarang saatnya memberi sebanyak mungkin waktu luang yg kupunya untuk ibu -meski itu tak pernah cukup mengganti semua pengorbanannya- ibuku bahkan asing dg dunianya sekarang, disorientasi waktu dan lokasi. Karena stroke yg dideritanya 3tahun lalu, dia kehilangan sebagian besar memorinya. Butuh 3 tahun untuk akhirnya dia mengenaliku sedikit sbg anaknya -bukan lagi sebagai ponakan, sepupu atau kadang org asing baginya-. Aku takkan pernah cukup mengganti semua peluhnya, semua tetes air matanya. Hanya berharap bisa lebih lama memelihara ibu di usia senjanya. Berharap bisa memeluknya setiap waktu, membuatnya mengerti betapa aku menyesal dl selalu membuatnya menangis, membuat garis kerutnya bertambah di setiap ulahku yg menusuk duka di hatinya. Berharap bisa lebih lama memberinya perhatian, cinta, pengabdian yg dulu tidak bisa kuakui meski itu nyata memenuhi hatiku.

No comments:

Post a Comment